News, UTI  

Saya Indonesia, Saya (Masih Belajar) Pancasila

1,686 views

Oleh: Seno Kardiansyah (Dosen Fakultas Sastra dan Ilmu Pendidikan Universitas Teknokrat Indonesia)

JUNI seharusnya menjadi bulan penting bagi warga negara Republik Indonesia.

Bagaimana tidak, peringatan hari lahirnya pancasila pada 1 Juni kemarin, sepatutnya menjadi momentum perenungan kembali apakah pandangan dunia (weltanschauung) yang digagas oleh para pendiri bangsa sebagai dasar filsafat (philosophiche gronslag) Indonesia merdeka telah benar-benar terinternalisasi dan tercermin dalam kehidupan bermasyarakat. 

Berbagai kalangan masyarakat tampak memperingati dengan caranya masing-masing. Pemerintah (pusat dan daerah), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), hingga kampus-kampus menggelar upacara.

Selain itu, para warganet juga turut aksi dengan meramaikan dunia maya dengan aneka gambar yang disertai tagar “Hari Lahir Pancasila”, ditambah lagi dengan logo Sandya Taru bertema “Pancasila Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”.

Sehingga tampak secara kasat mata bahwa segenap bangsa telah benar-benar memiliki kesadaran tentang pancasila dan bagaimana hidup ber-Pancasila.

Namun demikian, apakah semua itu mencerminkan substansi dari pancasila? Apa yang dilakukan setiap satu juni selama bertahun-tahun belakangan tak ubahnya sebuah formalitas tahunan, ibarat kemarau setahun dibalas hujan (buatan) sehari?

Selama setahun hidup kontradiktif dengan pancasila, lantas menyisihkan sehari memperingati kelahiran pancasila. Suka tidak suka hal ini perlu dikemukakan, karena sepertinya kita telah terjebak dalam mimpi di siang bolong, seakan-akan dengan menyatakan diri seorang pancasilais, maka kita telah pancasila. Lebih parah lagi jika merasa diri sendiri telah pancasila dan itu sudah final, tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa diubah-ubah. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana jika pemahaman kita tentang pancasila belum cukup untuk menunjang praktik kehidupan sehari-hari? Bukankah ketidakcukupan itu pada akhirnya harus dicukupkan? Sekalipun kita merasa telah cukup memahami, apakah itu sudah menjamin implementasi yang sudah konsisten?

BACA JUGA :   Balitbangda Lampung Apresiasi Karya Inovasi Mahasiswa UTI

Dalam hal ini, perubahan bagi masing-masing kita adalah keniscayaan, maka perlu kesadaran bahwa kata final tidaklah kompatibel untuk terus menginternalisasikan nilai-nilai pancasila, untuk kemudian mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Nasional dan Pendidikan 

Seperti yang termaktub dalam alinea empat pembukaan UUD 1945, salah satu pokok tujuan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, pendidikan merupakan tulang punggung bagi terwujudnya negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Perlu diingat, pendidikan merupakan proses tiada akhir demi mengubah perilaku manusia.

Oleh sebab itu, demi mencerdaskan kehidupan bangsa, mau tidak mau kita harus terus berkelindan di dalam suatu proses yang pada gilirannya pasti mengubah pemikiran dan perilaku kita, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kurang menjadi cukup dan seterusnya. 

Dari sinilah kita bisa melihat bahwa memang kata final tidaklah relevan, karena saat ini mestinya kita tengah menjalani proses untuk terus memahami dan mengimplementasikan pancasila. Suatu kondisi di mana belajar adalah suatu keharusan. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran bahwa Indonesia sebenarnya tidak membutuhkan masyarakat yang final, namun membutuhkan masyarakat yang terus belajar.

Lantas sudah sejauh apa budaya belajar masing-masing kita untuk menjadi seorang pancasilais? Setidaknya hal tersebut dapat kita sama-sama amati selama beberapa tahun belakangan ini.

Tentu masih segar diingatan bagaimana perilaku sebagian masyarakat di saat merebaknya covid-19; panic buying, penimbunan masker, hingga sikap acuh tak acuh terhadap protokol kesehatan. Bahkan dalam kasus tertentu, beberapa figur publik masih mempertontonkan kehidupan mewah yang hedonis, sementara ratusan ribu orang di-PHK, jutaan orang dirumahkan dan sebagian lainnya mengalami pemotongan gaji.

Kebobrokan tersebut belum ditambah lagi dengan kasus-kasus perundungan baik fisik maupun virtual yang beberapa tahun belakangan masih saja terpampang jelas berkat penggunaan media sosial, lebih-lebih selama ‘pesta’ demokrasi di tahun lalu.

BACA JUGA :   GML Metro Gelar Jumat Berkah di Karangrejo Metro Utara

Terkini, polemik kebijakan kenaikan UKT kuliah semakin membuat publik bertanya-tanya ihwal orientasi pendidikan nasional, masihkah berlandaskan keadilan sosial? Atau sudah menuju kapitalisme-liberal?

Oleh karena itu, masihkan kita yakin telah benar-benar memiliki nilai religius, nilai humanisme, nilai nasionalisme, nilai demokrasi dan nilai keadilan sosial yang dikandung pancasila dalam diri masing-masing?

Dari sinilah kita bisa memahami bahwa kehidupan berbangsa yang berlandaskan pancasila memang masih jauh panggang dari api. Jika begini terus, rasanya ide persatuan yang disimbolkan dengan logo Sandya Taru hanya akan jadi sekadar angan-angan.

#Saya Indonesia, Saya (Masih Belajar) Pancasila!

Beberapa tahun lalu digaungkan semboyan “Saya Indonesia, Saya Pacasila”. Lantas apakah semboyan “saya Indonesia, saya pancasila” masih harus terus diinternalisasikan?

Pertama, tentu saja itu adalah hak prerogatif masing-masing individu. Kendati begitu, sekali lagi harus ditekankan bahwa substansi seorang manusia menjadi pancasila tidak terletak pada pengakuan diri, penciptaan logo atau ritual-ritual peringatan, melainkan pada isi pikiran yang termanifestasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam hal ini, jangan pernah kita lupa bahwa seseorang dapat menjadi ‘Indonesia’ karena memenuhi persyaratan administratif, namun untuk menjadi ‘pancasila’ bisa saja dibutuhkan waktu seumur hidup. Jangan pula ada anggapan bahwa menjadi Indonesia, maka secara otomatis seseorang menjadi pancasila. Sungguh pemahaman semacam itu benar-benar mereduksi hakikat pancasila sebagai suatu pandangan dunia dan tidak memicu masyarakat untuk terus belajar.

Kedua, jika memandang pada status quo, perlu adanya suatu wacana baru guna memberikan rasa kesadaran bahwa nilai-nilai pancasila bukanlah sesuatu yang mudah untuk digenggam. Sudah pasti perlu proses internalisasi yang panjang – baik melalui sistem pendidikan formal maupun independen – untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang masing-masing sila oleh setiap individu di Republik Indonesia.

BACA JUGA :   Pimpin PJS Gorontalo, Jojo Rumampuk Siap Kembangkan PJS di Gorontalo

Di sini, tampak bahwa kesadaran masyarakat untuk terus belajar adalah kunci. Maka, alih-alih mengusung tema pancasila sebagai pemersatu atau semboyan “saya Indonesia, saya pancasila” yang cenderung simplistik, perlu semboyan baru yang dapat menyadarkan tentang perlunya terus belajar tentang pancasila. #Saya Indonesia, Saya (Masih Belajar) Pancasila!