Mau Dibawa Kemana Penegakan Hukum Kita?!

16,952 views
Fajar Arifin,S.H (CEO Senator.ID Grup)

Beberapa bulan terakhir rakyat Indonesia disuguhkan totonan yang menyedihkan dari prilaku para negarawan yang kurang elok.

Pasca ditetapkannya Komjen Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Bareskrim Polri gantian menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto dan Ketua KPK Abraham Samad (saat ini keduanya non aktif) sebagai tersangka. Pro dan kontra di masyarakat pun menyeruak. Selintas, parodi prilaku penegak hukum ini sangat mengecewakan hati nurani. Tak sedikit orang menganggap, penetapan tersangka pimpinan KPK merupakan aksi balasan petinggi polri yang kecewa lantaran institusi anti raswah itu telah mengganjal Budi Gunawan untuk duduk di kursi kapolri. Meski saat ini, BG telah duduk sebagai Wakapolri menggantikan Komjend Badroodin Haiti menjadi Kapolri.

Ya, Cicak versus Buaya yang pernah terjadi beberapa tahun lalu kembali terulang. Kalau dahulu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono langsung turun tangan, namun kali ini Presiden Joko Widodo memberikan sedikit ruang “bebas”. Pun demikian, ramai-ramai para penyelenggara negara kita berusaha untuk meredam konflik “kepentingan” yang terjadi di dua lembaga penegak hukum itu dengan menempuh jalur “damai”. Bukan jalur hukum dengan segera melimpahkan berkas perkara ke pengadilan agar para hakim yang menangani kasus ini bisa memutuskan, mana yang salah dan mana yang benar.

Ini bukannya tanpa alasan, jika saling serang-menyerang jeratan hukum antara KPK dan Polri ini selesai di meja perundingan, maka imbas yang terjadi hanya akan memperparah ketidakpercayaan masyarakat pada umumnya terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Sinyalmen akan dihentikannya proses hukum baik Budi Gunawan maupun duo Pimpinan KPK terlihat setelah Tim 9 berusaha untuk melerai dua institusi yang bertikai ini sembari memberi penekanan agar jeratan hukum atas Budi Gunawan yang berkas perkaranya telah diserahkan KPK ke Kejaksaan Agung dan berkas perkara pimpinan KPK non aktif untuk dihentikan secara permanen.

BACA JUGA :   Bak Epos Mahabharata, Konferprov PWI Lampung Bakal Berdarah-Darah?

”ya enggak hanya penundaan, kalau bisa dihentikan. Tinggal cari caranya. Yang sudah (dijadikan tersangka) jangan dilanjutkan. Komunikasi politiknya komunikasi antar lembaganya seperti apa,” kata anggota tim 9 Imam Prasodjo usai bertemu pimpinan KPK di Gedung KPK Jumat malam (13/3/2015).
Miris, seandainya penegakan hukum di Indonesia hanya menjadi pantonim bagi orang yang memiliki posisi tinggi, tapi sebaliknya, hukum menjadi predator bagi rakyat kecil.

Barangkali kini masyarakat umum yang tidak mempunyai orientasi kekuasaan kenegaraan sudah jengah. Setelah sekian lama penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, pakar hukum menyatakan bahwa hukum berlaku bagi semua orang tanpa pandang bulu, tapi kini terlihat jelas bahwa tidak ada kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law).

Ya, Equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Nah, Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23.

Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial).

Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.

Padahal, hukum dibuat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat. Meski hingga saat ini, belum ada yang bisa mendefinisikan keadilan secara utuh. Alasannya, adil menurut yang satu, belum tentu adil menurut yang lain.

BACA JUGA :   Wah, Dukun Banjir Duit

Pakar Hukum Pidana Universitas Lampung, Dr. Heni Siswanto mengatakan, tidak sepantasnya permasalahan hukum yang sudah terlanjur menjerat Budi Gunawan, Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto diselesaikan tanpa melalui mekanisme hukum. ”Semestinya, permasalahan hukum ya diselesaikan lewat jalur hukum. Jangan dicampur adukkan antara hukum dengan politik dan lain sebagainya,”ujar Heni.

Menurutnya, ditetapkannya BG dan duo KPK sebagai tersangka tidak perlu menyeret KPK dan Polri secara kelembagaan untuk saling “membunuh” satu sama lain. ”Yang terjadi kan personal, bukan istitusinya. Jadi, masalah personal jangan dikait-kaitkan dengan institusi, kita harus cerdas dong. Alangkah bijak kalau institusi tidak ambil bagian untuk memperkeruh suasana. Biarkan personal yang menyelesaikan kasus yang dituduhkan lewat jalur yang semestinya,”paparnya.

Untuk itu, terlepas dari kepentingan politik, Rakyat Indonesia hanya butuh penegakan hukum di Indonesia tajam ke semua arah, kalau memang hukum mesti berlaku tajam. Bukan tumpul untuk golongan tertentu. Biarlah yang salah dinyatakan salah dan yang benar tetap dinyatakan benar apapun risikonya.

Biarlah hakim, selaku perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini yang memtuskan dengan benar. Saya rasa, rakyat juga ingin tahu, mana yang didzolimi dan mana yang mendzolimu. Mana yang benar dan mana yang salah. Kalau toh memang salah semua, biarkan hakim yang memutusnya, begitu pula sebaliknya.

Kini, nasib penegakan hukum di republik ini ada di tangan para elit bangsa. Karena di tangan mereka inilah hukum bisa dicampur adukkan dengan bumbu apapun. Tinggal willingness pembesar negara saja, mau dibawa kemana hukum yang selama ini katanya dijunjung tinggi. Jika salah dalam melangkah, rakyat lah yang bakal menjadi korban. (*)