Oleh: Fathoni,S.H (Penggiat Kelompok Filsafat Jatidiri, Tinggal di Bandar Lampung)
Negeri yang Anomali
Syahdan, terdapatlah suatu negeri yang dianugerahi oleh Tuhan, alam yang kaya dan elok. Di negeri itu, tersedialah apa saja kebutuhan penduduknya. Apabila mereka butuh air, maka mata air jernih telah terpancar. Air sehat dan menyegarkan.
Buah-buahan di negeri itu adalah yang terlengkap di se-antero bumi. Manusia yang menjadi penduduk negeri itu, konon adalah makhluk cerdas keturunan bangsa Atlantis yang tersohor itu.
Kebudayaan yang menjadi puncak-puncak peradaban di negeri itu, sekaligus merupakan kebudayaan yang disanjung oleh negeri lain. Wujud kebudayaan dalam bentuk bangunan dan arca mendatangkan decak kagum bangsa-bangsa lain. Candi-candi, istana, kuil, menyimpan relief rumit yang mustahil tidak dirancang dengan cita rasa seni tinggi oleh manusia negeri itu.
Tarian, alat musik, dan musiknya begitu ritmis, sehingga sulit ditandingi citarasanya oleh musik dan kesenian barat sekalipun. Gemulai dan tegas sekaligus. Indah dan berkarakter. Begitu detil setiap gerakannya diaransemen. Dengan kata lain, semesta alam begitu iri terhadap nikmat Tuhan yang ditumpahkan kepada negeri itu.
Negeri kaya nan indah itu tak jua dirundung kesedihan, meski kini berulang kali orde pemerintahan yang tidak mementingkan perasaan penduduknya. Penduduk negeri itu juga tak gembira dipimpin oleh pemimpin yang seolah memikirkan nasib rakyat.Penduduk negeri itu begitu cerdas untuk dapat membedakan antara ketulusan dan kepalsuan.
Negeri itu kerap ditimpa bencana, namun penduduknya berprasangka baik kepada Tuhan, bahwa itu memang keniscayaan. Bila ada gunung api, tentu suatu saat meletus. Negeri yang dikepung laut, tentu suatu saat tsunami menerjang. Negeri beratus sungai, tentu sesekali banjir menghampiri.
Begitu sederhana mereka memahami musibah. Ratusan kali mereka dikibuli oleh orang yang mereka percaya sebagai pemimpin, ratusan kali pula penduduk itu memilihnya lagi. Entah apa dunia intelektual memahami sifat penduduk negeri itu. Beberapa berpendapat itu adalah apatisme-fatalistik, sementara yang lain menilainya sebagai sebuah kedewasaan berpikir. Bahwa kebahagiaan bagi mereka tidak dapat dirusak oleh kemunafikan pemimpinnya.
Bagi penduduk negeri itu, itulah keniscayaan bagi seorang pemimpin, yaitu merusak tatanan.
Manusia yang Khalifah
Konon, manusia yang menjadi penduduk negeri itu memahami tentang episode penciptaan Adam, manusia pertama. Dialektika tentang penciptaan fungsi kemanusiaan Adam.
Mereka menyadari penciptaan manusia bukan sekadar manusia sebagai jasad (man), namun juga penciptaan insan (human). Di dalam Kitab suci, Tuhan menggunakan terminologi “khalifah”.
Dengan demikian, khalifah-lah yang akan diciptakan Tuhan di muka bumi. Khalifah adalah kata ganti untuk mewakili tugas ketuhanan yang “didelegasikan” kepada manusia.
Khalifah itu subjek, sedangkan khilafah itu adalah fungsinya. Kalau Tuhan menciptakan padi, tugas kekhilafahan manusia yang harus mengubahnya jadi gabah, beras, lalu nasi. Analogi tentang padi, gabah, beras dan nasi adalah bahasa kebudayaan untuk memudahkan imajinasi pembaca.
Tentu tugas kemanusiaan manusia tidak sesederhana itu. Tugas itu bisa saja berupa amanah kepemimpinan, nasional maupun daerah. Ya, pemimpin adalah “petugas” menuju kesejahteraan rakyat dalam setiap skala kehidupan.
Kalau Hobbes “mendiskreditkan” manusia sebagai homo homini lupus, barangkali karena ia menyaksikan episode sejarah tentang tabiat manusia yang sering kali menjadi predator bagi sesamanya. Apriori Hobbes tentang peran kemanusiaan yang sering kali bersifat antagonis dengan kebajikan. Dalam skala yang lebih makro, yaitu seorang pemimpin yang tidak berusaha menyejahterakan rakyatnya adalah contoh yang layak dikemukakan.
Ini anomali, tapi inilah yang terjadi. Bila ini yang terjadi, maka Nietzche yang religius itu berkata: “Tuhan sudah mati!”.
Manusia yang Hatinya Selesai
Syahdan, penduduk negeri itu mengalami krisis berkepanjangan. Krisis BBM, krisis energi, krisis air, krisis moral, krisis kepercayaan. Namun, penduduk negeri itu tidak berhenti berbuat.
Mereka adalah penganut Des Cartes yang berpendapat bahwa manusia adalah keniscayaan saja dari suatu proses kesadaran. Ia berangkat dari filsafat manusia sebagai entitas yang “ada”.
Dan eksistensi manusia berangkat dari kesadaran manusia itu sendiri tentang keberadaannya. Kredonya yang terkenal “cogito ergo sum” menegaskan hal itu, “Saya sadar, maka Saya ada”. Kredo Des Cartes ini dapat kita telusuri dengan pendekatan keagamaan, yaitu “kesadaran ketuhanan”.
Barang siapa memahami tentang dirinya, maka ia akan memahami tentang Tuhannya. Manusia dalam gambaran Des Cartes ini bisa saja seorang pemimpin negara, kepala daerah, ahli hukum, intelektual, cendekiawan, budayawan, seniman, atau filsuf, yang penting ia menyadari perannya itu.
Eksistensi manusia adalah karena “diadakan” oleh Tuhan dengan tugas-tugas yang jelas. Manusia yang memiliki kesadaran macam ini tidak akan tertipu oleh gemerlap dunia, karena tugas kemanusiaan adalah membangun kebaikan dan merancang kesejahteraan.
Itulah mengapa manusia dibekali Tuhan dengan pemahaman ilmu dan ketajaman naluri untuk menderivasikannya menjadi produk kebaikan dan kesejahteraan. Inilah keniscayaan dorongan naluriah manusia, yaitu kecenderungan untuk berbuat baik.
Manusia macam ini tidak akan berebut kuasa, apalagi hanya sekadar ingin berkuasa. Kekuasaan baginya hanyalah instrumen saja untuk mengabdi pada kemanusiaan. Hampir tidak ada dorongan syahwat kuasa bagi manusia jenis ini.
Penduduk negeri itu, tidak peduli lagi dengan konstelasi politik, dengan perebutan kekuasaan. Bagi mereka, itu adalah episode bagi bangsa bar-bar. Penduduk negeri itu, hatinya telah selesai. Tabik