Penulis: Fathoni (Pegiat Kelompok Filsafat Jatidiri, Tinggal di Bandar Lampung)
[Bila engkau tidak melibatkan Tuhan dalam pertimbangan hidupmu,
maka Atheisme lah jalan pemikiranmu.]
Menafikan Tuhan
Barangkali quote diatas yang sedang terjadi dalam kehidupan bernegara kita. Hukum dan politik sebagai instrumen utama jalannya pengelolaan negara seolah bercerai dari nilai Tuhan.
Perumusan hukum dan penentuan kebijakan politik yang tidak melibatkan nilai-nilai Tuhan (theism), disadari atau tidak adalah salah satu bentuk penafian Tuhan. Apabila ini yang terjadi, maka hukum dan politik akan menjauhi nilai keadilan sebagai sumbunya. Keadilan sebagai sifat utama Tuhan mestinya diderivasi oleh manusia sebagai “wakil” Tuhan di bumi.
Atheisme, dengan demikian merupakan pengingkaran terhadap Tuhan. A-Theisme, tidak ada Tuhan. Pemikiran ini berkelindan dengan ide tentang hukum profetikal, hukum yang melibatkan wahyu sebagai pertimbangannya.
Hukum yang dipercaya sebagai mesin perubahan sosial (social engineering) sebagaimana diajukan Roscou Pound memerlukan prasyarat tentang kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Inilah mengapa, menurut penulis, teori social engineering tidak kompatibel untuk Indonesia.
Kegelisahan ini sebenarnya sudah menjadi kegelisahan para pakar hukum. Di bidang hukum lingkungan, Muhammad Akib (Politik Hukum Lingkungan, 2014), misalnya, menawarkan konsep “keadilan lingkungan” (ecojustice).
Tisnanta (AIA, 2012), misalnya, mengajukan konsep hukum pengayoman. Keduanya bermuara pada nilai keadilan, salah satu sifat Tuhan.
Hilangnya Kesucian
Peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum formil di Indonesia seolah disusun tanpa melibatkan sifat ketuhanan. Nilai kesucian dalam kehidupan bernegara dapat dilihat dari objektif cara berpikir dan kejujuran moral.
Memisahkan negara dengan rakyatnya, adalah salah satu fenomena yang dapat kita jadikan contoh. Tengok saja pernyataan salah seorang menteri yang menganggap bahwa subsidi BBM adalah “pembebanan keuangan negara oleh rakyat”. Bila ini terjadi, maka ketiga nilai hukum (kepastian, kemanfaatan, keadilan) sudah hilang dari pertimbangan pengambilan putusan.
Ini mungkin yang menjadi salah satu sebab mengapa kekayaan potensi Indonesia berubah menjadi kutukan (azab), bukan menjadi berkah.
Para pembelajar hukum sudah harus mulai menggunakan pendekatan “pelibatan Tuhan”. Bila paradigma profetikal ini dianut dan dijalankan, maka hukum akan diorientasikan untuk membahagiakan rakyat.
Oleh karena itulah paradigma profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.
Roger Garaudy menyatakan bahwa filsafat Barat (filsafat kritis) “tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis, tanpa kesudahan.
Filsafat Barat (filsafat kritis) itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Garaudy menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: bagaimana wahyu itu dimungkinkan.
Garaudy berpendapat bahwa Filsafat Barat sudah “membunuh Tuhan dan manusia”.
Oleh karena itu dia menyarankan “supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu”.(Kuntowijoyo, 2007).
Hukum memang tidak pernah selesai. Hukum tidak pernah istirahat. Soetandyo (2011) mengemukakan:
“Semuapun tahu, yang sarjana maupun yang awam, bahwa hukum itu bukanlah sesuatu wujud yang menampak tersimak, melainkan suatu konsep. Sebagai suatu konsep, hukum akan berada di suatu ranah abstrak, yang sains empirik macam apapun tak akan mungkin dapat menggapainya begitu saja.
Pemerintah sebagai Pengusaha?
Konsep yang dikemukakan David Osborne (1992) dalam “Reinventing Government” telah meracuni pemikiran akademikus tentang peran negara sebagai pengusaha. Penulis beranggapan bahwa ini adalah salah satu “modus” lepas tangannya pemerintah dari kewajiban melayani rakyat.
Pada akhirnya, pemerintah akan menganggap rakyat sebagai konsumen. Dan konsumen harus membayar untuk mendapatkan pelayanan. Orientasi pengusaha secara ekonomi adalah mencari keuntungan, sehingga pelayanan konsumen adalah bagian dari proses mencari keuntungan tersebut. Orientasinya bukan melayani.
Penggunaan istilah pemerintah pun penulis pikir tidak tepat, karena secara leksikal pemerintah dapat diartikan sebagai “si tukang perintah”.
Bagaimana mungkin aparatur yang digaji menggunakan uang negara yang pada hakikatnya uang rakyat justru pekerjaan utamanya “memerintah”? Bandingkan dengan diksi yang dipilih Amerika Serikat untuk menyebut aparatur pemerintah, yaitu “civil servant” bahwa aparatur pemerintah merupakan pelayan sipil.
Pengaturan keuangan negara mulai dari penganggaran sampai dengan implementasinya yang tidak melibatkan Tuhan sebagai pertimbangan, akan menjadi pengaturan yang tidak berhati.
Hati-hati, atheisme hukum lebih berbahaya daripada efek narkoba, atheisme hukum akan melahirkan norma hukum yang tak berarti. Momentum di bulan Pancasila ini, ada baiknya bila para pemikir hukum mulai “menarik” Tuhan dalam setiap perumusan kebijakan. Tabik