Solusi untuk Korban Salah Tangkap dan Salah Tahan

940 views

JAKARTA – Peristiwa salah tangkap dan salah tahan (error in persona) di negara ini sudah sering terjadi. Korban dari peristiwa ini biasanya dialami oleh kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Penyebabnya, kelompok masyarakat ini tidak bisa memberikan penjelasan di persidangan terkait fakta sidang dalam membela dirinya sendiri.

Peristiwa anyar dari dugaan salah tangkap dan salah tahan terdapat di kasus Vina Cirebon. Ada 5 orang mantan terpidana diduga menjadi korban salah tahan dan salah tangkap.

Praktisi hukum dari Universitas Brawijaya, I Gede Pasek Suardika mengatakan dengan adanya salah tangkap dan salah hukum jelas membuat lembaga pemasyarakatan yang tersebar menjadi penuh melebihi kapasitas. Dan hal ini jelas merugikan negara karena negara yang menanggung biaya hidup dari orang-orang yang berada di lapas.

Dalam fenomena beberapa kasus hukum yang difilmkan seperti kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dan Vina, menurut pria yang biasa dipanggil dengan Pasek ini menyebutkan penyebabnya daya ingat masyarakat di Indonesia seringkali pendek dalam urusan hukum. Mantan anggota Komisi III DPR RI ini menyebutkan melalui film masyarakat akan diminta berpikir siapa sutradara dan pengambil keputusan yang mengakibatkan salah tangkap dan salah hukum itu terjadi.

“Penyusun skenario dari kasus hukum dan pengambil keputusan itu jika waktu kejadiannya sudah terlalu lama seringkali sudah tidak ada di lokasi yang sama. Tapi masalahnya di sini penangkapan yang salah dan juga salah hukum sudah merugikan seseorang baik dari sisi hukum atau kehidupan sosialnya,” kata I Gede Pasek Suardika kepada VOI saat dihubungi, Selasa, 11 Juni.

Pasek mengatakan ada dua hal jalur hukum yang bisa ditempuh para korban salah tangkap dan salah hukum. Pertama dengan mengajukan peninjauan kembali atas ketidakpuasan putusan yang sudah ditetapkan oleh pengadilan. PK itu bisa dilakukan asalkan ada alat bukti baru yang dimunculkan terakhir.

BACA JUGA :   Sadis! Pria Ini Habisi Nyawa Temannya Sendiri di Pasar Gedongtataan

“Selain PK, bisa juga melalui Pengadilan hak asasi manusia (HAM), sayangnya dalam peradilan HAN saat ini masih difokuskan kepada kasus-kasus yang besar dan tidak personal. Padahal bagi orang-orang yang mengalami salah tangkap dan salah hukum ini hak asasinya sebagai manusia sudah dihilangkan,”kata Pasek.

KUHAP Perlu Direvisi

Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, Pasek melihat instrumen hukum juga perlu dikembangkan dengan cara memperbaiki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Menurut dia, proses jalur hukum yang paling singkat utk memulihkan nama orang yang salah tangkap dan salah hukum perlu dijelaskan di KUHAP. Selain itu, kata dia, di kuhap yang baru negara juga melakukan rehabilitasi nama baik dari korban yang salah tangkap dan salah hukum dengan cara memberikan nilai ganti rugi yang laik.

“Korban dari salah tangkap dan salah hukum itu sudah kehilangan banyak hal saat ditetapkan pengadilan sebagai terdakwa. Dalan proses rehabilitasi nama baiknya, negara perlu turut serta dengan memberikan nilai ganti rugi yang laik,”katanya.

Pasek juga meambahkan dalam perbaikan kuhap sebagai payung hukum, juga harus diisi dengan aturan yang jelas terkait sanksi bagi petugas atau penegak hukum yang bekerja tidak sesuai dengan aturan hukum.

“Kuhap sebagai payung hukum kedepannya harus memberikan saksi kepada petugas atau penegak hukum seperti jaksa dan polisi. Kedua institusi ini yang bekerja dalam pengumpulan alat bukti. Tujuannya agar semua pihak lebih berhati-hati dalam mengerjakan proses hukum yang menyangkut nasib seseorang,” tandasnya.

Peradi Siap Bela 5 Terdakwa

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengaku siap menjadi tim kuasa hukum dari enam terpidana kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita alias Vina Cirebon.

BACA JUGA :   Diduga Lakukan KDRT, Oknum PNS Lampung Barat Dipolisikan!

Namun begitu, Otto mengatakan bahwa Peradi akan menjadi kuasa hukum lima terpidana tersebut bila nanti sudah secara resmi lima orang tersebut memberi kuasa terhadapnya.

“Jadi kami tadi sudah minta kuasa dari keluarganya ini agar kami bersama sama dengan keluarga bisa bertemu dengan lima terpidana itu. Bertanya apakah sungguh-sungguh mau mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atau tidak,” kata Otto Hasibuan kepada wartawan, Senin, 10 Juni.

Bila lima terpidana kasus pembunuhan Vina itu bersedia untuk mengajukan PK, maka Peradi menyatakan bersiap diri untuk mendampingi secara hukum. Pasalnya, dia mengatakan bahwa lima terpidana ini diduga merupakan korban salah tangkap dari kasus Vina Cirebon.

Hal itu, menurut Otto, diperkuat dengan keterangan para saksi yang menyebut bahwa saat peristiwa pembunuhan terjadi, para terpidana tak berada di lokasi.

“Sesungguhnya mereka adalah tidur di rumahnya di rumah anaknya Pak RT. Sehingga kalau ini benar maka berarti peristiwa mereka melakukan pembunuhan itu adalah pasti tidak benar,” pungkasnya.

Salah satu bekas terpidana kasus Vina yang berniat mengajukan PK adalah Saka Tatal yang divonis 8 tahun bui oleh pengadilan. Dia ingin memulihkan nama baiknya karena ngotot tidak terlibat dan menjadi korban salah tangkap polisi dalam kasus Vina. Selain itu, salah satu alasan tim kuasa hukum Saka Tatal mengajukan PK adalah langkah polisi yang menghapus dua nama DPO kasus Vina Cirebon karena dianggap fiktif.

Tapi, mantan Kabareskrim Polri, Ito Sumardi mengatakan bahwa meski Saka Tatal memiliki hak untuk mengajukan PK, dia juga harus memahami konsekuensi dari PK tersebut. Menurut Ito, Saka Tatal bisa diancam dua pasal sekaligus, yakni Pasal Penyebaran Berita Bohong dan Pasal Pencemaran Nama Baik.

BACA JUGA :   Gegara Gedung SMAN 1 Kedondong, Pengurus CV Alfatih Perkasa Bakal Dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum

“Saka Tatal harus bisa membuktikan pernyataannya jika ajukan PK, kalau tidak maka, ia bisa dijerat dua pasal sekaligus. Kemudian disebutkan bahwa kalau DPO itu dinyatakan fiktif berarti Saka juga tidak terkait. Nah sekarang pertanyaan saya apakah Saka di persidangan itu mengatakan mengenal dengan DPO itu? Karena setahu saya yang bersangkutan (Saka) tidak mengatakan mengenal,” ujarnya.

“Saka menyampaikan hal-hal yang tentunya memiliki konsekuensi hukum yang apabila tidak bisa dikuatkan, dibuktikan dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka yang bersangkutan bisa dikenakan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 atau pun pencemaran nama baik Pasal 310 ayat 1 KUHP,” sambung Ito.

Dia menegaskan, diperlukan bukti-bukti dan novum baru jika Saka Tatal ingin mengajukan PK mengingat kasus ini terjadi di 2016 silam. “Yang bersangkutan sudah menjalani hukuman jadi yang disampaikan kuasa hukumnya ini harus dibuktikan, apakah keputusan hakim itu cacat atau tidak? Kalau memang cacat tentunya harus ada rehabilitasi kalau diterima,” tandasnya.

Dirkrimum Polda Jawa Barat, Surawan juga menegaskan tidak ada salah tangkap dalam penyidikan kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Vina di Cirebon yang terjadi pada 2016. Apalagi, keterangan saksi dan pelaku sudah teruji di pengadilan.

“Terkait salah tangkap, semua sudah diuji di pengadilan. Jadi apa pun keterangan yang pernah disampaikan para pelaku ini sudah diuji oleh pengadilan, bahkan sampai ke tingkat kasasi dan itu sudah vonis, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi ya. Tidak ada salah tangkap,” beber Surawan.
\