BANDAR LAMPUNG — Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai merancang menerapkan sistem rekapitulasi elektronik atau e-rekap dokumen C1 dalam salinan digital sebagai hasil resmi pemilu. Alasannya, memperpendek waktu rekapitulasi suara yang selama ini memakan waktu 35 hari dari pemungutan dan penghitungan suara hingga penetapan hasil pemilu. Proses digitalisasi ini akan memangkas waktu petugas KPPS yang harus mengisi lembaran salinan yang membuat petugas KPPS kelelahan yang berakibat petugas meninggal dunia. Dengan e-rekap, maka tak perlu lagi saksi karena sudah ada pengawas pemilu dan pemantauan dari masyarakat.
Handi Mulyaningsih, KPU Provinsi Lampung Tahun 2008-2019 mengatakan, Diskursus tentang Elektronik Rekap sudah banyak dibahas, dari aspek regulasi hingga teknis pemungutan, penghitungan serta rekapitulasi , pengawasan , saksi. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan diperlukan revisi UU Pilkada sebelum menerapkan rekapitulasi secara elektronik. Sebab, UU Pilkada tidak menyebutkan dasar hukum e-rekap. Pun, proses penghitungan suara di TPS tetap diperlukan karena sangat akuntabel dan partisipatoris. Namun dibutuhkan pengadministrasiannya secara elektronik atau e-rekap dokumen dalam salinan digital sebagai hasil resmi pemilu.
“Pemilu di Indonesia dilaksanakan secara langsung berasaskan langsung, umum, bebas , rahasia, jujur, adil. Asas tersebut harus dapat diimplementasikan dalam mekanisme pemungutan suara yang berprinsip one person, one vote, one value (OPOVOV), hingga proses penghitungan suara, dan rekapitulasi suara dan konversi suara menjadi kursi atau pemenang pemilu”. Katanya.
Kemudian Pemungutan suara di TPS diatur dilakukan mulai jam 07.00 hingga jam 13.00, setelah itu dilakukan pengitungan suara yang harus dilakukan selesai pada hari itu juga. Berdasarkan putusan MK , waktu penghitungan suara dapat diselesaikan hingga jam 12.00. Urainya.
Setelah penghitungan suara selasai, proses selanjutnya adalah memindahkan hasil penghitungan suara (formulir C1 Plano) ke dalam formulir yang disebut formulir C1 berhologram. Di dalam formulir itu tertulis jumlah DPT, jumlah pemilih yang hadir dan tidak hadir , jumlah pemilih pindahan, jumlah pemilih yang menggunakan KTP Elektronik karena tidak ada di DPT, jumlah surat suara yang digunakan, jumlah surat suara yang tidak digunakan, jumlah surat suara yang rusak/keliru coblos, jumlah suara sah, jumlah suara tidak sah. Semua item ini ditulis di C1 berhologram, dan disalin dalam C1 yang tidak berhologram sejumlah yang akan dibagikan ke saksi, dan panwas, serta untuk ditempel di TPS, PPS, serta dikirim ke PPK serta dikirim ke kpu kabupaen untuk dilakukan proses scan dan input data yang selanjutkan dikirim ke aplikasi SITUNG. Proses inilah yang KPU RI akan ubah menjadi e rekap. Tidak ada kertas, tidak perlu saksi yang hadir langsung di TPS. Cukup dipantau via aplikasi.
Sistem E Rekap mengharuskan sistem yang prima (tidak mudah down, tidak mudah kena hack). Sistem yang tidak prima akan mendeligitimasi hasil pemilu, bahkan akan membuat kekacauan dan konflik antar peserta, antara peserta dengan penyelenggara, dan antar penyelenggara. Apalagi apabila sistem E Rekap tidak dapat mengatasi kondisi wilayah yang tidak terjangkau internet. Imbuhnya.
Selain itu, sistem E Rekap perlu diikuti dengan pleno berjenjang di tingkat kabupaten (Pilkada dan DPRD Kabupaten) , Provinsi (Pilgub dan DPRD Provinsi) dan RI(DPR, DPD, Pilpres). Dimana dalam tiap step tetap memberikan ruang untuk dilakukan keberatan dan koreksi.
Meski ada banyak pertanyaan, sistem E Rekap adalah solusi atas panjangnya waktu yang dibutuhkan dalam rekapitulasi karena banyaknya pemilu serentak dengan variasi daerah pemilihan dan surat suara, jumlah kursi tiap dapil. Elektronik Rekap sesungguhnya telah dilakukan oleh KPU dalam bentuk hitung cepat. Namun regulasinya yang sah menggunakan rekap manual. Dalam realitasnya, perolehan suara dalam hitung cepat tidak berbeda dengan hitung manual.
Intinya, dalam pemilu, mekanisme apapun yang akan dilakukan KPU, akan terjaga kepercayaan publik apabila proses tersebut dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang berintegritas yaitu mandiri, jujur, adil kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, secara transparan, adil dan setara, jujur , adil , berintegritas.
Selama ini, tuntutan integritas pemilu ditimpakan pada penyelenggara pemilu (KPU). Padahal , semua komponen idealnya terlibat pada posisi masing-masing dalam menjaga integritas pemilu. Sebagai contoh, KPU melakukan rekapitulasi sesuai tingkatan, idealnya di tiap tingkatan telah selesai rekapitulasi. Namun masih ada problem rekapitulasi di tingkatan selanjutnya, yang disampaikan Bawaslu, dan peserta pemilu. Pungkasnya. (rls)(feb)