ESG (Environmental, Social, Governance) semakin menjadi faktor penentu dalam menarik investasi asing di era globalisasi. ESG tidak hanya mencerminkan komitmen perusahaan atau negara terhadap keberlanjutan, tetapi juga menjadi indikator risiko dan potensi pertumbuhan jangka panjang. Investor global kini lebih selektif, memprioritaskan entitas yang mampu mengintegrasikan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik ke dalam operasional mereka. Aspek lingkungan, misalnya, menjadi krusial di tengah tekanan krisis iklim. Perusahaan yang menggunakan energi terbarukan, mengurangi emisi karbon, atau menerapkan prinsip ekonomi sirkular dinilai lebih kompetitif. Negara dengan kebijakan hijau seperti insentif energi bersih atau regulasi rendah emisi juga lebih mudah menarik dana asing, terutama dari investor yang berfokus pada portofolio berkelanjutan. Menurut laporan Bloomberg Intelligence, total investasi dalam aset yang berfokus pada Environmental, Social, and Governance (ESG) diperkirakan akan mencapai $53 triliun pada tahun 2025.
Di sisi sosial, hubungan harmonis antara perusahaan dengan pekerja, komunitas, dan konsumen menjadi daya tarik tersendiri. Perusahaan yang menjunjung hak pekerja, mendukung inklusi, atau memberdayakan UMKM lokal menciptakan ekosistem bisnis yang stabil dan berkelanjutan. Investor cenderung menghindari wilayah dengan konflik sosial atau isu HAM, sementara negara dengan kebijakan publik inklusif dan kesenjangan rendah lebih mudah menarik modal asing. Sementara itu, tata kelola yang transparan dan akuntabel menjadi pondasi kepercayaan investor. Praktik seperti pelaporan keuangan yang terbuka, diversifikasi dewan direksi, dan pencegahan korupsi meningkatkan daya saing suatu negara. Contohnya, Singapura dan negara-negara Skandinavia kerap menjadi tujuan investasi berkat indeks tata kelola yang tinggi. Investor institusional seperti BlackRock bahkan menjadikan kriteria governance sebagai syarat utama dalam portofolio mereka.
Peran teknologi juga tak kalah vital dalam mendorong kinerja ESG. Bagas Adji Saputra, praktisi IT dan Sustainability, menekankan bahwa inovasi digital seperti big data analytics, AI, dan blockchain memungkinkan pemantauan ESG secara real-time. “Sensor IoT dapat mengukur emisi pabrik secara akurat, sementara blockchain menjamin transparansi rantai pasok. Teknologi ini tidak hanya meningkatkan akurasi data, tetapi juga membangun kepercayaan investor yang mengutamakan fakta berbasis data,” ujarnya. Adopsi teknologi juga memudahkan perusahaan memenuhi regulasi global seperti EU Taxonomy atau standar SASB, memperluas peluang kolaborasi dengan investor internasional.
Pada akhirnya, ESG telah menjadi kompetitifitas baru dalam pasar global. Bagi Indonesia, momentum ini adalah peluang emas untuk memperbaiki iklim investasi melalui kebijakan berkelanjutan yang transparan dan inklusif. Seperti disampaikan Bagas Adji Saputra, integrasi antara teknologi dan prinsip ESG akan menjadi kunci memenangkan persaingan di era transisi hijau. Dengan meningkatnya kesadaran konsumen dan ketatnya regulasi global, investasi berbasis ESG diprediksi akan terus mendominasi, menjadikannya bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan fundamental untuk pertumbuhan ekonomi yang bertanggung jawab.
Press Release ini juga tayang di VRITIMES