Politik Amerika Serikat saat ini mencapai puncak polarisasi antara kubu kiri dan kanan. Perbedaan pandangan semakin tajam, terutama dalam hal kebijakan ekonomi dan perdagangan. Begitu resmi menjabat sebagai presiden, Donald Trump langsung mengambil langkah agresif dengan menandatangani sekitar 85 Executive Order hanya dalam satu bulan pertama. Angka ini jauh melampaui jumlah perintah eksekutif yang diterbitkan oleh beberapa pendahulunya, seperti Barack Obama yang hanya menandatangani 16 Executive Order, serta Joe Biden dengan 10 Executive Order dalam periode yang sama. Langkah cepat dan drastis Trump mencerminkan keyakinannya bahwa kepemimpinan sebelumnya dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan kepentingan Amerika Serikat di kancah global.
Salah satu kebijakan utama Trump adalah menerapkan tarif tinggi terhadap beberapa mitra dagang utama seperti Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan Kolombia. Ia berupaya menekan negara-negara tersebut agar tunduk pada kepentingan ekonomi AS melalui langkah-langkah proteksionis. Namun, kebijakan ini tidak hanya memicu ketegangan perdagangan internasional, tetapi juga membawa dampak signifikan terhadap ekonomi global. Pengenaan tarif yang lebih tinggi menyebabkan gangguan pada rantai pasokan dan mendorong lonjakan harga barang, yang pada akhirnya meningkatkan inflasi ke level yang lebih tinggi. Padahal, dalam 30 bulan terakhir, inflasi mulai menunjukkan tanda-tanda stabilitas berkat kebijakan suku bunga yang diterapkan sebagai alat pengendali utama.
Saat ini, suku bunga telah mengalami penurunan sebesar 100 basis poin (bps) dari level tertingginya, yaitu 5,5%. Level ini sebelumnya merupakan yang tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Keputusan pemangkasan suku bunga diambil oleh Federal Reserve (The Fed) sebagai respons terhadap penurunan inflasi yang signifikan, dari puncaknya di 9% menjadi 3% dalam kurun waktu 18 bulan terakhir. Meski demikian, The Fed tetap berhati-hati dalam mengambil langkah lebih lanjut. Para pejabat bank sentral masih menunggu inflasi mencapai target 2% sebelum mempertimbangkan pemangkasan suku bunga tambahan. Dengan inflasi yang masih bertahan di level 3%, kebijakan moneter saat ini kemungkinan besar akan tetap dipertahankan tanpa adanya pemangkasan lebih lanjut dalam waktu dekat.
Bagi investor yang bergelut dalam aset berisiko seperti saham dan kripto, harapan mereka adalah suku bunga dapat terus turun hingga ke level 2,5%, atau dengan kata lain, pemangkasan tambahan sebesar 200 bps dari posisi saat ini. Suku bunga yang lebih rendah akan memberikan dorongan bagi pasar keuangan, meningkatkan likuiditas, serta memperkuat daya beli konsumen. Namun, kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Donald Trump, khususnya terkait penerapan tarif impor, berpotensi menggagalkan skenario tersebut. Jika kebijakan tarif yang agresif terus diterapkan, bukan tidak mungkin The Fed justru akan mengambil langkah sebaliknya, yaitu menaikkan kembali suku bunga untuk mengendalikan dampak inflasi yang timbul akibat kebijakan proteksionis tersebut.
Pengenaan tarif terhadap beberapa mitra dagang utama, termasuk negara-negara yang telah lebih dulu terkena dampaknya seperti Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan Kolombia, ditambah dengan ancaman tarif baru terhadap Uni Eropa, dapat memperburuk kondisi inflasi. Negara-negara yang masuk dalam daftar tarif AS menyumbang sekitar USD $1,7 triliun terhadap total impor AS pada tahun 2024, yang setara dengan 6% dari Produk Domestik Bruto (GDP) AS. Jika kebijakan ini terus berlanjut atau bahkan berkembang menjadi perang dagang yang lebih luas, dampak terhadap harga barang dan jasa akan semakin besar. Hal ini tentu akan menjadi pukulan bagi investor yang berharap suku bunga terus turun, karena inflasi yang kembali meningkat dapat memaksa The Fed untuk kembali mengetatkan kebijakan moneter.
Salah satu kebijakan kontroversial Donald Trump yang berpotensi mendorong inflasi adalah rencana deportasi massal pekerja imigran ilegal di Amerika Serikat. Sebagian besar pekerja ini berasal dari kawasan Amerika Tengah dan memasuki AS tanpa dokumen resmi, tinggal melebihi izin yang diberikan (overstay), atau menyalahgunakan dokumen visa mereka. Para imigran ini umumnya menerima upah lebih rendah dibandingkan pekerja warga negara AS, sehingga banyak bisnis bergantung pada tenaga kerja mereka untuk menekan biaya operasional. Keberadaan pekerja dengan bayaran lebih murah memungkinkan perusahaan menawarkan harga barang dan jasa yang lebih terjangkau bagi konsumen. Jika kebijakan deportasi besar-besaran diberlakukan, akses terhadap tenaga kerja murah akan berkurang drastis, yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya produksi dan menaikkan harga barang serta jasa di berbagai sektor, mulai dari pertanian, konstruksi, hingga jasa rumah tangga.
Namun, di sisi lain, beberapa kebijakan Trump lainnya diyakini dapat berkontribusi terhadap penurunan inflasi, khususnya di sektor energi. Trump berencana memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi industri minyak dan gas AS untuk melakukan eksplorasi serta eksploitasi sumber daya energi domestik, termasuk di lahan milik pemerintah federal. Dengan mendorong produksi minyak dalam negeri, AS dapat mengurangi ketergantungannya pada impor energi dan lebih terlindungi dari fluktuasi harga minyak global. Kebijakan ini diharapkan dapat menekan harga bahan bakar dalam negeri, yang sebelumnya melonjak akibat menurunnya produksi minyak domestik dan dampak dari perang Rusia-Ukraina pada tahun 2022. Salah satu faktor utama pendorong inflasi pada periode tersebut adalah meningkatnya biaya logistik akibat lonjakan harga bahan bakar. Dengan meningkatkan kemandirian energi, AS berpotensi menjaga stabilitas harga dan mengurangi tekanan inflasi dalam jangka panjang.
Selain itu, Trump, dengan dukungan dari Elon Musk, berencana melakukan efisiensi besar-besaran dalam pengeluaran anggaran federal AS. Trump dan Musk kerap memiliki pandangan yang selaras dalam hal memberantas apa yang mereka sebut sebagai “the swamp” atau “deep state,” yang merujuk pada elit Washington, D.C. yang dianggap korup dan boros dalam menggunakan dana pemerintah. Bagi Trump, semakin besar pengeluaran federal, semakin besar pula dampaknya dalam mendorong inflasi. Oleh karena itu, pemangkasan anggaran diyakini akan menjadi salah satu langkah utama dalam menekan lonjakan harga barang dan jasa. Jika kebijakan ini dijalankan, kemungkinan besar akan ada perubahan signifikan dalam struktur keuangan pemerintah, termasuk pengurangan subsidi dan program sosial tertentu, yang bisa berdampak luas terhadap ekonomi domestik.
Selain dinamika inflasi di era Trump, hubungan politik dan ekonomi antara Trump dan Jerome Powell, Ketua The Fed, juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam hal kebijakan suku bunga. Meski Trump sendiri yang mencalonkan Powell sebagai Ketua The Fed pada 2018, keduanya sering kali memiliki perbedaan tajam terkait kebijakan moneter. Saat menjabat di periode pertama, Trump berulang kali menekan Powell agar memangkas suku bunga, tetapi tidak selalu mendapatkan respons positif. Saat ini, Trump kembali meyakini bahwa suku bunga masih terlalu tinggi, terutama karena inflasi sudah turun ke kisaran 3%. Namun, Powell dan para pejabat The Fed tetap bersikukuh bahwa kebijakan suku bunga harus diterapkan secara hati-hati untuk menjaga stabilitas ekonomi. Powell masih akan menjabat hingga Februari tahun depan, dan hingga saat itu, Trump diperkirakan akan terus berupaya mempengaruhi keputusan The Fed agar melakukan pemangkasan suku bunga. Meski kembalinya Trump ke Gedung Putih membawa optimisme bagi pasar aset berisiko seperti saham dan kripto, investor tetap harus memahami bahwa kebijakan Trump dalam aspek tarif, inflasi, dan suku bunga memiliki konsekuensi yang dapat mempengaruhi keputusan investasi secara signifikan.
Pergerakan harga Aset kripto lainnya, Saham Amerika Serikat, dan Emas Digital saat ini bisa kamu cek di aplikasi Nanovest. Jika kamu tertarik untuk mulai berinvestasi di Aset Kripto, Nanovest dapat menjadi pilihan kamu untuk mulai berinvestasi dan eksplor koin kripto lainnya, sebuah aplikasi investasi saham & kripto yang terpercaya dan aman yang dapat menjadi pilihan terbaik bagi para investor di Indonesia. Bagi para investor yang baru ingin memulai berinvestasi tidak perlu khawatir karena aset yang kamu miliki akan terjamin oleh perlindungan asuransi Sinar Mas sehingga terlindungi dari risiko cybercrime. Dan Nanovest juga telah terdaftar dan diawasi oleh BAPPEBTI, sehingga aman untuk digunakan. Bagi para penggiat investasi yang ingin menggunakan Nanovest, aplikasi ini sudah tersedia di Play Store maupun App Store Anda.
Press Release ini juga tayang di VRITIMES