JAMBI – Di balik senyum hangat Ibu Sri Jati Mulyani, seorang pensiunan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), tersimpan pil pahit pengalaman dirinya saat berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher Jambi.
Luka di hatinya bukan hanya karena penyakit yang diderita, namun juga karena perlakuan yang tak terduga dari sistem kesehatan yang seharusnya menjadi tempatnya untuk mendapatkan pertolongan.
Empat hari, terhitung dari 27 hingga 30 April 2024, menjadi masa penuh perjuangan bagi Ibu Sri di RSUD Raden Mattaher Jambi. Di bawah asuhan dr. Rio Rahmadi, Sp.U, FICS dan tim perawat, Ibu Sri mendapatkan perawatan intensif dan obat-obatan yang diharapkan mampu meringankan kondisinya.
Sebuah secercah harapan muncul saat dokter dan perawat memberitahunya untuk kembali kontrol dalam kurun waktu 5 hingga 14 hari. Dengan penuh semangat, Ibu Sri kembali ke rumah sakit pada hari ketujuh untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Namun, takdir berkata lain. Dokter Rio yang ditunggu tidak tersedia, digantikan oleh dr. Ardiansyah Periadi, Sp.U sebagai dokter pengganti.
Harapan Ibu Sri pupus seketika. Alih-alih mendapatkan pemeriksaan menyeluruh, ia hanya disodori pertanyaan singkat tentang CT Scan yang tidak dibawanya. Tanpa basa-basi, dr. Ardiansyah menyatakan ketidakmampuannya untuk memeriksa tanpa CT Scan, seolah melemparkan tanggung jawab kepada pasien yang sudah sepuh dan lemah.
“Gimana saya mau ngecek, sedangkan CT SCAN-nya tidak ada,” jawab dr. Ardiansyah singkat, meninggalkan Ibu Sri dengan perasaan kecewa dan kebingungan.
Ia pun bergegas meminta anaknya untuk mengambil CT Scan yang dimaksud. Sepuluh menit kemudian, Ibu Sri kembali dengan hasil CT Scan di tangannya, namun pil pahit kembali menyapa. Dr. Ardiansyah sudah tidak ada di tempat, seolah menghilang tanpa jejak.
Hanya perawat yang menyambutnya dengan informasi bahwa ia harus kembali lagi pada hari Sabtu untuk bertemu dr. Rio dan membawa rujukan terbaru dari puskesmas. Alasannya, Ibu Sri adalah pasien BPJS Kesehatan dan membutuhkan pendaftaran ulang.
Perasaan Ibu Sri kian hancur. Di tengah kondisi kesehatannya yang menurun, ia dihadapkan pada sistem yang rumit dan berbelit-belit. Rasa sakit fisiknya bercampur dengan luka hati yang mendalam, dibayangi keraguan atas profesionalisme dan kepedulian terhadap pasien di RSUD Raden Mattaher Jambi.
Kisah Ibu Sri Jati Mulyani bagaikan cerminan pilu dari realitas sistem kesehatan di Indonesia. Di balik megahnya bangunan rumah sakit dan gelimang janji layanan kesehatan, tersembunyi luka dan kekecewaan para pasien yang menanti pertolongan.
Akankah kisah Ibu Sri menjadi pengingat bagi para pemangku kepentingan untuk berbenah dan menghadirkan sistem kesehatan yang benar-benar berpihak pada rakyat? Ataukah pil pahit ini akan terus terulang, meninggalkan luka bagi para pasien yang tak berdaya? (pjs)