Matinya Sang Pedagog di Tangan Demagog

2,802 views

Oleh: Fathoni (Dosen dan Pegiat Gerakan Filsafat Jatidiri Nusantara)

Di dalam mimbar-mimbar akademik, tempat pengetahuan seharusnya berkuasa dan berwibawa, sebuah transformasi yang meresahkan sedang terjadi. Meresahkan bagi para petapa ilmu.

Sosok “Pedagog” yang dulu dihormati, digugu dan ditiru, perwujudan pencerahan intelektual dan tuntunan moral, bermetamorfosis menjadi “Demagog”, seorang manipulator ulung dengan ambisi egois.

Perubahan ini, didorong oleh dahaga yang tak terpuaskan akan kekuasaan dan keuntungan material, bukan sekadar tragedi yang terjadi dan menyerang pribadi;

“tragedi ini adalah pengkhianatan terhadap esensi pendidikan tinggi, misinya yang mulia untuk mengolah pikiran dan membentuk penerus bangsa yang bertanggung jawab”.

Pedagog sejati, perwujudan ideal Sokrates, adalah mercusuar kebijaksanaan, menyalakan percikan rasa ingin tahu (curiosity) dan pemikiran kritis pada murid-murid mereka. Para Pedagog mestiny bukan sekadar penyalur fakta dan angka berupa data; mereka adalah fasilitator pencarian intelektual, mendorong siswa dan mahasiswa untuk bertanya, menantang, berdiskusi dan menjelajahi medan dan lautan pengetahuan yang luas.

Semangat belajar mereka menular, menginspirasi masyarakat untuk memulai perjalanan penemuan intelektual mereka sendiri—dalam ruang-ruang publik.

Sebaliknya, demagog yang menyamar sebagai pedagog adalah “serigala berbulu domba”.

Perhatian utama mereka bukanlah mengejar pengetahuan atau mengembangkan kecakapan intelektual; melainkan perolehan kekuasaan dan prestise.

Mereka makin mahir dalam promosi diri, menyusun narasi besar tentang kecemerlangan dan pencapaian mereka sendiri, “onani publikasi ilmiah” yang memuaskan diri sendiri, sambil secara halus merendahkan kontribusi orang lain—yang tidak linier pemikirannya.

Ruang kelas mereka menjadi sarana pembesaran diri, dimana murid (siswa dan mahasiswa) tidak dilihat sebagai individu yang harus dididik dan diajarkan untuk menghadapi kehidupan, tetapi justru dijadikan objek memupuk ambisi pribadinya. Dalam pikirannya adalah “mendapat”, bukan “memberi”.

BACA JUGA :   Sekdaprov Fahrizal Darminto Buka Rakorwasda Provinsi Lampung Tahun 2023

Pergeseran dari pedagog ke demagog ini bukan sekadar masalah kelemahan karakter individu; ini adalah cerminan dari malaise yang lebih luas yang telah menginfeksi pendidikan tinggi itu sendiri. Pengejaran pengetahuan yang dulu sakral telah menyerah pada daya pikat keuntungan dan kekuasaan.

Universitas, yang dulunya merupakan benteng kebebasan intelektual, kini telah berubah menjadi entitas korporat, didorong oleh metrik, akreditasi semu, dan kekuatan pasar. Pendidikan telah menjadi komoditas, untuk diperjualbelikan di pasar penawar tertinggi, termasuk “menghamba” pada kekuasaan dan penguasa.

Tapi tentu tidak semuanya begitu. Ada saja yang tidak, tapi itu menjadi anomali saja.

Konsekuensi dari transformasi ini sangat luas dan meresahkan. Mahasiswa, yang dulu dipandang sebagai pembelajar dan pemikir yang ingin tahu, semakin dipandang sebagai konsumen dan dikemas untuk kepentingan keuntungan institusional.

Pengejaran pengetahuan sering terpinggirkan, digantikan oleh fokus pada perolehan IPK dan keterampilan semata (diajarkan jadi tukang). Tukang hukum, tukang pertanian, tukang teknik, tukang kesehatan. Jiwa pendidikan tinggi yang seharusnya berkomitmen pada pengejaran kebenaran dan penanaman pemikiran kritis, kini sulit ditemukan.

Kebangkitan pedagog-demagog bukanlah konsekuensi tak terelakkan dari modernitas; itu adalah pilihan, keputusan sadar untuk meninggalkan cita-cita mulia pendidikan tinggi demi keuntungan pribadi. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan kepada pendidik, kegagalan dalam menegakkan standar moral profesi.

Padahal sudah banyak yang tersertifikasi dan diberikan tunjangan berupa “poin” dan “koin”.

Untuk merebut kembali etos pendidikan tinggi yang hilang, kita harus menyalakan kembali semangat pedagog sejati. Kita harus menolak godaan kekuasaan dan prestise, dan sebaliknya merangkul kerendahan hati dan dedikasi yang merupakan ciri khas seorang pendidik sejati. Kita harus mendedikasikan kembali diri kita untuk mengejar pengetahuan dan menumbuhkan pemikiran kritis, mengakui bahwa ini bukan sekadar latihan akademis tetapi dasar dari masyarakat yang adil dan setara.

BACA JUGA :   Mingrum Gumay Didaulat Jadi Ketua P3A

Jalan untuk memulihkan martabat dan integritas pendidikan tinggi tidak akan mudah. Ini akan membutuhkan upaya kolektif dari pendidik, siswa, mahasiswa, dan masyarakat luas. Kita harus menantang model pendidikan yang didorong pasar dan menuntut kembali nilai-nilai inti pendidikan tinggi. Kita harus meminta pertanggungjawaban lembaga kita atas prioritas ilmu dan pendidikan, memastikan bahwa lulusan (sarjana) tidak didorong menjadi materialistik tetapi oleh komitmen memajukan kehidupan bangsa.

Jangan sampai nanti suatu ketika, seorang pendidik: dosen dan guru menyuarakan seruan “Amicus curiae”, yaitu istilah bahasa Latin yang artinya “sahabat pengadilan” (Istilah hukum yang merujuk pada individu atau organisasi yang bukan merupakan pihak langsung dalam suatu perkara hukum, tetapi diizinkan oleh pengadilan untuk memberikan informasi, keahlian, atau pandangan yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan), justru dianggap sebagai “Partisan”—mendukung partai politik tertentu.

Dan jika hal ini terjadi, maka marwah pendidikan sejatinya tidak ada lagi. Saat itu terjadilah yang disebut: Matinya Sang Pedagog di Tangan Demagog!

Natar, 21 April 2024