Jatuhnya Sang Megalomanian

2,526 views

Oleh: Fathoni (Dosen HAN FH Unila)

Syahdan di suatu negeri, hiduplah seorang penguasa baru. Sebut saja ia raja. Begitu berkuasanya ia di negeri itu, sampai-sampai tiada yang berani mengkritisi keputusannya, bahkan saat keputusannya itu mencekik leher dan mengimpit perut kempis warga yang hidup di kerajaannya. Bahkan ada saja rakyat yang menganggap raja itu sang dermawan yang hampir saja dijuluki “Raja Infrastruktur”

Di balik tembok megah istananya, sang raja sedang menikmati duduk di kursi singgasana kebesarannya. Namun, sang raja ini dikenal juga dekat dengan rakyatnya. Wajahnya terukir kepolosan. Wajahnya mirip wajah rakyat kebanyakan. Tampangnya sama sekali tidak “perlente”. Namun, di balik itu semua, sorot matanya menyiratkan kepuasan, sorot mata yang ber-aura superioritas. Baginya, dia bukan sekadar pemimpin, tapi raja. Raja lima tahunan, yang bisa diperpanjang lima tahun lagi, dan bisa ditarik lagi perpanjangan sampai anak cucunya kelak.

Sejak awal menjabat, si raja ini terobsesi dengan kekuasaan. Dia ingin semua orang tunduk dan patuh pada setiap titahnya. Kritik dianggapnya sebagai pemberontakan, dan lawan politiknya dibungkam dengan alasan, melawan proyek strategis nasional.
Sifat “megalomanianya” semakin terlihat ketika proyek-proyek pembangunan besar-besaran dimulai. Dia ingin namanya terukir di setiap sudut kota, dusun-dusun, ngarai, bahkan di sepanjang jalan yang dulunya berlubang. Jalan yang disorot televisi sudah mengalami perbaikan, tapi tidak di pelosoknya. Masyarakat sedang menikmati wisata jalanan, bertajuk “lubang sewu”, lubang seribu.

Ia mulai membangun monumen ambisi dan egonya. Tak jarang, proyek-proyek itu sarat korupsi dan nepotisme, hanya menguntungkan kroninya dan mengabaikan kebutuhan rakyat. Tapi rakyat sama sekali tidak menyadarinya. Setahu rakyat, ia adalah raja adil yang memerintah dengan kelembutan yang mengayomi. Di bawah kepemimpinannya, pembangunan fisik memang terlihat pesat. Bahkan, sangat pesat. Begitu pesatnya, sehingga mengalahkan prestasi raja-raja terdahulu. Jalanan diperlebar, gedung-gedung pencakar langit didirikan, bendungan dibangun, dan taman-taman kota ditata dengan indah. Gunung-gunung dipangkas, sedangkan rawa-rawa diurug demi ambisi Bernama pembangunan. Akhirnya, banjir melanda kota-kota yang semula tak pernah mengalaminya. di balik gemerlap itu, rakyat menjerit. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, pengangguran meningkat, dan suara-suara kritis dibungkam.

BACA JUGA :   Buka Porprov Lampung IX Tahun 2022, Gubernur Arinal Harapkan Porprov Melahirkan Atlet-atlet yang Berkualitas dan Berkompetensi

Kesombongan Sang Raja membuncah. Sifat Megalomaniannya mencapai puncaknya ketika dia mulai membangun patung dirinya sendiri di tengah negeri itu. Patung emas raksasa itu menjadi simbol megalomania dan arogansinya. Patung berbiaya mahal yang dibebankan kepada rakyatnya, dengan utang yang mencekik. Rakyat geram, mereka merasa dipermalukan dan diinjak-injak oleh pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Kemarahan rakyat semakin memuncak ketika sebuah skandal korupsi besar terbongkar. Korupsi tambang, korupsi pajak, korupsi kekuasaan, bahkan korupsi di mahkamah peradilan tertinggi di negeri itu.

Sang Raja sedang memupuk kekayaan dengan dalih pembangunan untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Rakyat tidak tinggal diam, mereka turun ke jalan menuntut keadilan, tapi semuanya sepi dari pemberitaan. Hampir seluruh media dalam genggamannya, kecuali media yang bernama internet milik Dajjal. Di akhir cerita, sang raja kehilangan legitimasinya di mata rakyat, dan tepat di hari itu, sang raja yang mengidap Megalomania akut itu pun: Jatuh! (*)