JAKARTA-10 tahun pertama Partai Demokrat berdiri menjadi era keemasan dari partai berlambangkan bintang mercy.
Menjadi partai penguasa selama 2 periode tidak lepas dari susunan struktural yang tepat dan berjalannya partai sesuai cita-cita pendiri partai demokrat (PD). Sayangnya hal itu hanya sampai masa tugas dari kepemimpinan Anas Urbaningrum saat menjadi ketua umum.
“Yang terputus, ketika dia (Anas Urbaningrum) diganti melalui KLB akibat sangkutan kasus hukum dan diganti oleh Pak SBY. Ya sampai tahun 2015 itu berjalan dengan baik. Kaderisasi bagus dan jujur puncaknya ada di Anas. Bisa dilihat dan dibuktikan posisi survei partai demokrat berada di tingkat tertinggi,” kata mantan politisi senior Partai Demokrat, Darmizal kepada wartawan, Minggu (21/2/21).
Darmizal mengakui era kepemimpinan Anas Urbaningrum, demokrat berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah kursi parlemen di Indonesia.
“Dan perlu dicatat demokrat memiliki kursi parlemen 154 kursi dan setelah era reformasi angka itu yang paling tertinggi di parlemen. Sampai hari ini nggak ada partai selain demokrat yang mencapai angka segitu. Ini sejarah dalam kepemilikan kursi parlemen di bangsa ini,” kata Darmizal.
Namun era keemasan demokrat tidak bertahan lama, pada pemilu 2014, suara demokrat terjun bebas hingga 3 persen.
Menanggapi hal ini Darmizal menjelaskan hal itu bisa saja disebabkan adanya rangkap jabatan yang dimiliki SBY. Pada saat itu, SBY menduduki posisi ketua umum partai juga masih sebagai presiden.
“Nah saat SBY menjadi ketum pertama di mana posisinya juga sebagai presiden jadi terkesan berat sekali. Hal ini disebabkan adanya rangkap jabatan yang dipegang Pak SBY. Pertama sebagai presiden dan kedua sebagai ketua umum partai. Sudah tentu Pak SBY lebih mengutamakan kerjanya sebagai presiden. Hal ini yang menyebabkan ada kesulitan para kader untuk bertemu langsung dengan ketua umumnya. Karena Pak SBY menggunakan protokol dan perangkat negara di setiap kunjungannya ke daerah,” jelas Darmizal.
Menurut aturan, lanjut Darmizal, jelas partai tidak boleh menggunakan perangkat atau fasilitas negara untuk kepentingan politik partai. Selain itu, adanya stigma kurang sedap yang tertangkap oleh masyarakat, arah politik demokrat yang sebelumnya modern dan terbuka berubah menjadi partai oligarki.
“Dan yang paling utama, pada saat itu yang menjadi sekjen partai tak lain putranya sendiri, Edhie Baskoro. Apa stigma yang terjadi di masyarakat, ketua umumnya adalah bapak dan sekjennya anak sendiri. Pak SBY dan Ibas di sini tidak salah, tapi stigma yang terjadi di mata masyarakat sangat mungkin merugikan nama besar partai. Stigma masyarakat yang tertangkap, kok partai demokrat ini jadi politik oligarki dan tidak sesuai dengan cita-cita saat waktu berdiri,” pungkasnya. (tan/dim)