JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang ambil alih kasus korupsi yang ditangani aparat kepolisian maupun kejaksaan.
Ketentuan ini ada dalam Pasal 9 ayat 1 Peraturan Presiden (Perpres) No. 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2020 dan diundangkan pada 21 Oktober 2020 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly.
“Berdasarkan hasil Supervisi terhadap perkara yang sedang ditangani oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/ atau Kejaksaan Republik Indonesia,” demikian bunyi ketentuan tersebut, sebagaimana dilansir dari kompas (28/10/20).
Adapun dalam melakukan pengambilalihan perkara korupsi, KPK memberitahukan kepada penyidik dan atau penuntut umum yang menangani perkara tersebut.
Ketika KPK menyatakan hendak mengambil alih perkara berdasarkan penelaahan penanganan perkara bersama sebelumnya, Polri dan Kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan atau terdakwa beserta seluruh berkas perkara dan alat bukti serta dokumen lain yang diperlukan.
Penyerahan tersangka dan atau terdakwa beserta berkas-berkasnya paling lama 14 hari, terhitung sejak tanggal permintaan KPK.
“Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau Kejaksaan Republik Indonesia pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” demikian lanjut beleid tersebut.
Adapun dalam Pasal 10 UU KPK, KPK dinyatakan berhak mengambil alih perkara korupsi yang ditangani Polri dan Kejaksaan bila laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungiawabkan.
Selain itu perkara bisa diambil alih jika penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, lalu bila penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana korupsi, kemudian bila ada hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Kemudian, perkara bisa diambil alih KPK bila ada keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik. (kom/dim)