Jakarta- Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap ingin memasukkan kembali aturan pelarangan mantan napi koruptor mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Ketua KPU Arief Budiman menyebutkan dua alasan. Pertama, KPU khawatir terpidana korupsi tidak bisa menjalankan amanat karena mesti menjalani proses peradilan.
Tapi faktanya, lanjut Arief, ada calon kepala daerah yang sudah ditangkap, ditahan, dan dia tidak akan bisa menggunakan hak pilih tapi dia menang Pemilu. Akhirnya, orang tersebut tidak bisa memimpin karena dirinya harus menjalani proses peradilan. Sehingga ditunjuk orang lain yang memimpin daerah tersebut.
“Itu fakta. Menyerahkan kepada masyarakat (akibatnya) seperti itu,” ujar Arief.
Kedua, KPU tidak ingin terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi, terpilih lagi menjadi kepala daerah sehingga ia melakukan tindak pidana korupsi lagi.
Pada bagian lain, Komisi II DPR belum menyepakati ketentuan larangan mantan napi (narapidana) koruptor mencalonkan diri menjadi kepala daerah dalam rancangan revisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017.
“Kami belum bisa mengambil kesepahaman bersama sehingga kami perlu melanjutkan lagi di (rapat) hari berikutnya,” ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia usai menggelar rapat dengar pendapat bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri (4/11/19).
Dalam rancangan perubahan PKPU Nomor 3/2017, aturan mengenai pelarangan mantan terpidana kasus korupsi maju dipilkada ada dalam Pasal 4 huruf h.
Doli mengatakan peraturan mengenai mantan terpidana tindak pidana korupsi dilarang mencalonkan diri dalam Undang-Undang sudah pernah dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi. (jpn/dim)