BANDAR LAMPUNG- Ratusan mahasiswa Universitas Lampung yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Lampung memanggil ngeluruk Kantor DPRD Provinsi Lampung, Selasa (10/3/20).
Massa menuntut pembatalan Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Massa menyatakan bahwa tuntutan penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini lantaran dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Ya, Massa meminta kepada DPRD Provinsi Lampung membuat pernyataan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan sampaikan langsung ke pemerintah pusat dalam hal ini DPRRI.
Massa juga memberikan toleransi waktu selama tiga hari kepada DPRD Lampung untuk memenuhi tuntutan.
“Kalau tidak dipenuhi, kita akan lakuikan yang lebih ekstrim, meminta turun dari anggota dewan yang mewakili kita,” ujar korlap aksi, Irfan Fauzy Rachman saat berorasi.
Bahkan, kedepan bakal ada gelombang aksi serupa dari berbagai daerah yang bakal disatukan menuju aksi nasional.
Dari pantauan Senator.ID, massa tidak hanya berasal dari BEM Unila saja melainkan juga dari sejumlah organisasi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) juga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).
“Dalam praktiknya Omnibus Law lebih banyak menyelundupkan kepentingan politik daripada memberikan kesejahteraan bagi rakyat, hingga membuat rakyat sengsara. Misalnya dalam pasal 170 RUU Omnibus Law bahwa Presiden memiliki wewenang mengangkangi undang undang dasar,” papar Irfan.
Selain berdampak pada tumpang tindihnya wewenang, menurutnya RUU Cipta Kerja juga memberikan peluang besar pada kerusakan lingkungan. Ini dibuktikan dengan dihilangkannya analisis dampak lingkungan (Amdal) bagi perusahaan yang bergerak dibidang sumber daya alam.
“Tiga tuntutan utama kita saat ini adalah: menuntut DPRD Provinsi untuk terlibat menolak RUU Omnibus Law, Menyampaikan kepada DPR RI, serta memberikan penjelasan kepada masyarakat Lampung agar tidak ada kegaduhan,” ucapnya.
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan penolakan dan pandangan negatif terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja karena ada ‘gorengan’ politik.
Mahfud menyebut niat pemerintah dari awal dalam menyusun RUU ini murni untuk menyederhanakan aturan yang berlaku agar investasi bisa dengan mudah masuk ke Indonesia.
“Namanya politik bisa digoreng, wah ini untuk keperluan ini, wah ini untuk keperluan agar penduduk, agar warga negara sendiri tersingkir, macem-macem begitu,” kata Mahfud di Hotel Sari Pasific, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (10/3/20).
Gorengan politik ini, kata Mahfud, jelas terlihat dari prasangka sejumlah pihak atas keberadaan RUU tersebut. Misalnya prasangka bahwa RUU Cipta Kerja hanya untuk memberikan karpet merah ke negara tertentu.
“Ketika kami susun ndak ingat sama sekali siapa yang mau investasi itu. Ndak ada urusan China ndak ada, malah yang disebut sebagai contoh tuh Uni Emirat Arab, Qatar, Saudi Arabia. Ndak ada (China) nyebut apa yang dicurigai orang,” ujarnya.
Untuk itu, Ia meminta semua pihak membaca dengan seksama isi draf RUU Cipta Kerja yang sudah diserahkan ke DPR. Ia pun mengajak semua pihak agar berdiskusi terlebih dahulu sebelum melontarkan pandangan terkait RUU itu.
Mahfud mengingatkan bahwa isi RUU tersebut masih bisa berubah dalam pembahasan yang dilakukan pemerintah dengan DPR nanti. Namun, ia heran dengan sikap sejumlah pihak menolak dengan penuh kecurigaan berlebihan sebelum membaca draf RUU Cipta Kerja.
“Baca dulu, baca dulu baru berdebat. Ya saya melihat ada kesalahan-kesalahan di undang-undang, perbaiki kan ada DPR kan nanti masih lama ini. Bukan belum apa-apa, tolak,” kata bekas Menhan itu.
RUU Cipta Kerja yang disusun dengan metode Omnibus Law ini merupakan prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua. RUU tersebut diklaim Jokowi dapat memangkas aturan guna menarik investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Jokowi telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ke DPR pada 12 Februari. Namun, hingga masa sidang selesai akhir Februari lalu, RUU itu belum kunjung dibahas DPR. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan pembahasan tertunda karena lima pimpinan DPR belum sepakat.
RUU Cipta Kerja ini menuai kritik dan penolakan dari sejumlah pihak. RUU gagasan Jokowi ini dinilai semakin menindas buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, merusakan lingkungan hidup hingga menyebabkan bencana ekologi jika benar-benar disahkan. (rud/cni/dim)