LAMPUNG – Presiden Direktur PT Astra, Djoni Bunarto Tjondro baru saja mengucapkan terima kasihnya kepada John Raymond Witt dan Chiew Sin Cheok, yang saat ini telah memasuki masa pensiun, atas kontribusi, dedikasi, dan jasanya yang telah diberikan terhadap perseroan. PT Astra juga baru saja merilis susunan dewan komisaris dan dewan direksi.
Mungkinkah alasan utama dari RUPSLB PT Astra ini disebabkan tiga anak usahanya terlibat kasus korupsi dengan nilai jumbo? Berdasarkan penelusuran, ada tiga anak perusahaan dari Astra Group yang diduga kuat terlibat dalam tindak korupsi. Berikut catatannya ketiga anak perusahaan Astra yang berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiaj.
Anak Usaha Astra di bidang Kelapa Sawit
Kasus dugaan korupsi pertama melibatkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL). Anak usaha dari Astra International yang bergerak di bidang pertanian. Hingga akhir tahun 2020, luas kebun kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan ini mencapai 287.604 hektar, yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
AAL ini berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah dan telah dilaporkan secara resmi ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Laporan dugaan korupsi dari anak usaha Astra ini dilakukan oleh Kantor Hukum HJ Bintang & Partners pada Rabu, 25 Juni 2025.
Menurut perwakilan dari Kantor Hukum HJ Bintang & Partners, pihaknya di awal bulan Juni 2025 telah melaporkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat. Namun sayangnya laporan dugaan korupsi dari anak usaha Astra itu tidak mendapatkan penanganan yang memadai.
Disebutkan dalam laporan ada empat perusahaan sawit di bawah naungan AAL yang beroperasi di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat – PT Letawa, PT Mamuang, PT Pasangkayu, dan PT Lestari Tani Teladan (LTT) – terlibat dalam praktik-praktik koruptif yang merugikan negara dan masyarakat selama lebih dari dua dekade.
Laporan yang bernomor 061/HJ-B&P/VI/2025 merinci empat dugaan pelanggaran hukum utama yang terdiri dari;
1. Penggelapan Kewajiban Kebun Plasma: Dugaan penggelapan kewajiban penyediaan lahan kebun plasma seluas 5.572 hektar kepada petani setempat yang belum pernah direalisasikan sejak awal konsesi, sekitar 25 tahun yang lalu.
2. Penguasaan Lahan Ilegal: Penguasaan lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) seluas 2.160 hektar, termasuk kawasan hutan negara, tanpa izin yang sah.
3. Kehilangan Pendapatan Negara: Kehilangan pendapatan negara dan daerah akibat pajak, retribusi, dan ijin yang belum dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
4. Penyimpangan Dana CSR: Dugaan penyimpangan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar, mengingat Grup AAL diduga memperoleh laba bersih tahunan yang sangat besar.
Juru bicara dari Kantor Hukum HJ Bintang & Partners, Hasri mendesak Kejaksaan Agung untuk segera mengambil alih penanganan kasus ini dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, melakukan penyitaan aset yang terkait, menghentikan kegiatan ilegal, dan melakukan audit menyeluruh terhadap lahan, pajak, dan dana CSR Grup AAL.
“Diperlukan segera pembentukan tim investigasi gabungan yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Ombudsman RI agar kasus ini lebih terang benderang,” katanya.
Pembelian Solar Super Murah
Menurut catatan dari Kejaksaan Agung, terdapat 13 perusahaan tambang yang diduga terlibat dalam kasus solar super murah. Keuntungan yang dihasilkan dari kejahatan yang diduga dilakukan dalam kurun waktu 2018-2023 itu telah merugikan negara sebesar RP2.5 triliun.
Ketiga belas perusahaan tambang itu membeli solar di luar batas angka kewajaran. Bahkan di bawah bottom price serta di bawah harga pokok penjualan (HPP) dari PT Pertamina (Persero)
Menariknya, diantara 13 perusahaan tambang itu ada anak usaha PT Astra, yakni PT Pamapersada Nusantara (PAMA). PT Pamapersada Nusantara menjadi anak usaha dari perusahaan Astra yang diduga telah ikut merugikan negara.
Berdasarkan penelusuran, Presiden Direktur PT Astra Internasional, Djoni Bunarto Tjondro juga menduduki kursi di PT Pamapersada Nusantara (PAMA) sebagai Presiden Komisaris. Presiden Direktur PAMA dijabat Hendra Hutahean.
Dari 13 perusahaan itu, paling tidak ada 3 korporasi yang disebut meraup keuntungan besar dari skandal solar murah. Salah satunya, ya itu tadi, PAMA dengan nilai cuan Rp958,36 miliar. Disusul PT Berau Coal anak usaha Sinarmas Group sebesar Rp449,1 miliar, dan PT Buma Rp264,1 miliar.
PT Berau Coal merupakan perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Kalimantan Timur (Kaltim) dimiliki oleh generasi kedua PT Sinarmas Group, yakni Franky Widjaja.
Anggota DPR asal Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), Daniel Johan menegaskan kasus pembelian solar murah itu jelas melukai rasa keadilan dan menyakiti hati rakyat Indonesia. Daniel menambahkan kasus ini harus menjadi atensi penuh bagi aparat penegak hukum.
“Ini sangat menyakiti hati rakyat, sekaligus mengusik rasa keadilan. Jika terbukti melanggar, semuanya harus ditindak tegas,”katanya.
Proyek Tol MBZ
Anak perusahaan ketiga dari Astra Group yang tersangkut kasus korupsi tak lain PT Acset Indonusa. Penetapan status tersangka itu diberikan Kejaksaan Agung kepada PT Acset dalam pekerjaan pembangunan (design and build) Jalan Tol Jakarta-Cikampek (Tol Japek) II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat termasuk on/off ramp pada Simpang Susun Cikunir dan Karawang Barat, atau yang biasa dikenal dengan Tol MBZ.
Berdasarkan keterangan dan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Corporate Secretary dari perusahaan tersebut, Kadek Ratih menyatakan jika pihaknya ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka melalui surat pemberitahuan pada 3 Juni 2025 lalu.
Menanggapi hal ini, PT Acset melalui keterangannya dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia yang ditandatangani Kadek Ratih selaku Corporate Secretary mengakui jika pihaknya telah ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka melalui surat pemberitahuan pada 3 Juni 2025 lalu.
“Di mana Perseroan ditetapkan sebagai tersangka korporasi atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat atau jalan tol layang MBZ (“Proyek Pembangunan Japek”). Saat ini proses hukum sedang berlangsung dan Perseroan berkomitmen untuk senantiasa bersikap kooperatif pada setiap proses hukum yang sedang berlangsung,” tulis Acset.
Menurut Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung Widya Sihombing, PT Acset terlibat merugikan keuangan negara dengan total Rp510,08 miliar dalam kasus tersebut. Rincian kerugian negara meliputi Rp347,79 miliar akibat kekurangan volume pada pekerjaan struktur beton, Rp19,54 miliar akibat kekurangan mutu slab beton, serta Rp142,75 miliar akibat kekurangan volume pada pekerjaan steel box girder atau balok kotak baja.
PT Acset Indonusa Tbk (ACSET) terseret perkara korupsi proyek Tol MBZ dengan nilai kerugian negara Rp179,99 miliar.







