JAKARTA – Timah itu dibenci sekaligus dirindukan. Keuntungan dari penjualan timah sangat diharapkan pelaku bisnis tanpa terkecuali. Salah satunya, anak komisaris Jenderal Budi Gunawan, Muhammad Herviano Widyatama. Pria kelahiran tahun 1986 yang kini menjadi politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pernah memiliki bisnis pertambangan timah di Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Anak Komisaris Jenderal Budi Gunawan, tercatat pernah berbisnis pertambangan timah di Pangkalpinang. Herviano mengucurkan modal dalam dua tahap dengan nilai total Rp 10 miliar kepada PT Sumber Jaya Indah, perusahaan pertambangan dan pengolahan timah di Pangkalpinang, Bangka Belitung.
Sementara menurut sumber Senator yang ditemui di Pangkalpinang, PT Sumber Jaya Indah terdaftar di sebuah kantor notaris di Pangkalpinang sebagai perusahaan pertambangan dengan modal awal Rp 1,5 miliar. Perusahaan tersebut beralamat di Jalan TPI Ketapang, Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung. PT Sumber Jaya Indah disebutkan mendapatkan suntikan dana dua kali dari PT Mitra Abadi Berkatindo.
Dia menjelaskan politisi muda dari PDIP ini tidak ada hubungannya dengan kasus timah Rp 271 triliun. Dia beralasan perusahaan pertambangan timah milik Herviano telah tutup sejak tahun 2017. “Saya memiliki akta di mana tertulis nama anaknya sebelum perusahaan itu bubar di tahun 2017,”kata sumber di pertengahan bulan April.
Dia menerangkan PT Sumber Jaya Indah sempat menguasai lahan tambang di Pangkalpinang dengan luas yang cukup besar namun pada tahun 2017 sudah tidak beroperasi. Di dalam perusahaan itu Herviano duduk sebagai komisaris bersama dengan tiga pengusaha lainnya. Satu diantaranya Sendy Pranata yang saat ini telah menjadi warga negara Myanmar dan memiliki bisnis mobil mewah di Thailand. Tak tanggung Sendy juga terlihat sangat dekat dengan para petinggi junta militer.
Dia menambahkan Sendy pernah mengungkap permainan dari keluarga Kepala BIN Budi Gunawan dan diungkap di Tribunews di awal tahun 2024. Alasannya Sendy mengungkap karena merasa sakit hati akibat kerap dijadikan ATM berjalan.
“Dia sakit hati karena sering diperas dan dijadikan ATM. Dan saya memiliki akta di mana tertulis nama anaknya sebelum perusahaan itu bubar di tahun 2017,”kata sumber.
Pengakuan sumber senator ternyata sejalan dengan dokumen hasil penyelidikan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri terhadap dugaan transaksi tak wajar milik Budi, disebutkan Herviano mengucurkan dana Rp 10 miliar itu pada 23 Mei 2007 dan 18 Desember 2007 melalui perusahaannya PT Mitra Abadi Berkatindo. Di perusahaan ini Herviano duduk sebagai salah satu komisaris bersama tiga pengusaha lainnya.
Mengutip dari Tempo, Saat diperiksa Tim Bareskrim pada 7 Juni 2010, Stefanus mengakui penyertaan modal oleh Herviano di PT Mitra Abadi berasal dari kredit Pacific Blue. Dalam pemeriksaan yang sama, Yuliana, staf keuangan PT Sumber Jaya, pun menyebut dia pernah menerima setoran modal dari Herviano. “Perusahaan kami memang pernah bekerja sama dengan PT Mitra Abadi,” jelas Yuliana dalam dokumen itu seperti dikutip dari Tempo.
Stefanus belum berhasil dikonfirmasi terkait dana Herviano ke PT Mitra Abadi. Panggilan dan pesan pendek yang dilayangkan ke telepon selulernya tak berbalas. Ia pun sulit ditemui di kantornya di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
“Beliau (Stefanus) jarang ke kantor. Sebulan sekali belum tentu,” ujar Ari, pegawai di PT Central Mega Kencana, induk usaha Frank & Co, Kamis, 5 Februari 2015.
KPK sudah mencurigai adanya transaksi tak wajar selama 2006 itu. Transaksi tersebut, menurut KPK, tidak sesuai dengan profil Budi sebagai anggota Polri. Kepemilikan rekening janggal inilah yang menjadi salah satu tudingan KPK kepada Budi sehingga ia ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa, 13 Januari 2015. Penetapan ini hanya sehari sebelum Budi mengikuti uji kelayakan sebagai calon tunggal Kepala Polri di DPR.
Komisaris Jenderal Budi Gunawan berkali-kali menyangkal ada kejanggalan dalam transaksi di rekeningnya selama 2006 itu. Kepala Lembaga Pendidikan Akademi Polri itu berkukuh transaksi jumbo itu titipan Herviano. Dana Rp 57 miliar yang diperoleh Herviano dari Pacific Blue rencananya dipakai Herviano untuk mengembangkan bisnis perhotelan dan pertambangan timah.
Kepada Tempo, Rabu, 4 Februari 2015, Komisaris Jenderal Purnawirawan Ito Sumardi menjelaskan, lantaran masih 19 tahun dan menjadi direksi, maka Herviano dikawal oleh Budi. Saat penyelidikan rekening milik Budi, Ito adalah Kepala Bareskrim. “Dia (Herviano) belum sempurna menjadi pebisnis, belum matang. Semua transaksi saat itu dibantu oleh BG (Budi Gunawan),” kata Ito, yang pernah jadi Dubes Myanmar 2014-2019.